PAULTILLMANMUSIC-Platform Terbaik Untuk Menjelajahi Dunia Musik Internasional, Inspirasi, Dan Kreativitas

PAULTILLMANMUSIC Menyajikan Berbagai Konten Menarik, Termasuk Ulasan Lagu, Wawancara Eksklusif Dengan Musisi, Serta Analisis Mendalam Tentang Tren Musik Terkini.

PAULTILLMANMUSIC-Platform Terbaik Untuk Menjelajahi Dunia Musik Internasional, Inspirasi, Dan Kreativitas

PAULTILLMANMUSIC Menyajikan Berbagai Konten Menarik, Termasuk Ulasan Lagu, Wawancara Eksklusif Dengan Musisi, Serta Analisis Mendalam Tentang Tren Musik Terkini.

Musik

Polemik Royalti Musik Indonesia Praktisi Hukum Sebut Wajib Bayar

Polemik Royalti Musik Indonesia Praktisi Hukum Sebut Wajib Bayar dalam sebuah forum terbuka yang digelar di Artotel, Jakarta, pada Kamis, 10 April 2025. Dalam forum tersebut, praktisi hukum sekaligus musisi senior Tanah Air, Kadri Mohamad, menyampaikan pandangan kritisnya terhadap berbagai kesalahpahaman publik yang belakangan muncul terkait mekanisme pembayaran royalti atas karya musik yang digunakan dalam pertunjukan.

Kadri menyampaikan bahwa banyak pihak di masyarakat yang masih keliru memahami siapa sebenarnya yang memikul tanggung jawab hukum atas pembayaran royalti ketika sebuah lagu dipergunakan dalam sebuah acara, terutama pertunjukan musik secara langsung.

Menurutnya, posisi penyanyi atau musisi yang tampil tidak seharusnya dibebani kewajiban tersebut, karena mereka hanya berperan sebagai pelaksana pertunjukan (performer), bukan sebagai pengguna yang menikmati manfaat komersial dari karya cipta.

Polemik Royalti Musik Indonesia Praktisi Hukum

Siapa yang Wajib Bayar Royalti Musik?

“Penyanyi atau performer itu hanya menjalankan tugasnya untuk tampil. Mereka hadir, menyanyikan lagu sesuai kontrak, dan menerima bayaran atas jasanya. Mereka tidak memiliki kewajiban membayar royalti kepada pencipta lagu. Yang memiliki tanggung jawab adalah pihak yang menggunakan karya itu secara komersial, yakni penyelenggara acara,” tegas Kadri saat berbicara dalam forum yang juga disiarkan secara langsung oleh KompasTV.

Lebih lanjut, Kadri menguraikan bahwa definisi ‘pengguna’ dalam konteks undang-undang hak cipta di Indonesia merujuk pada pihak yang menyelenggarakan acara dan memperoleh keuntungan dari penggunaan karya musik. Mereka adalah entitas yang menyewa tempat, menjual tiket, menyuplai sistem tata suara (sound system), serta mengorganisir seluruh pelaksanaan acara.

Dengan demikian, apabila seorang penyanyi tampil dalam konser yang diselenggarakan oleh pihak ketiga, maka tanggung jawab pembayaran royalti sepenuhnya berada di tangan penyelenggara, bukan artis yang tampil di atas panggung.

Sebagai perbandingan, Kadri memberikan ilustrasi: “Jika seorang artis seperti Dhani menyelenggarakan konsernya sendiri, maka ia wajib membayar royalti karena berperan ganda sebagai performer sekaligus penyelenggara. Namun jika Agnez Mo tampil di konser yang diproduksi oleh pihak promotor, maka tanggung jawab atas royalti berada di tangan promotor tersebut,” jelasnya.

Kadri juga menyinggung ketegangan antara dua pendekatan dalam pengelolaan royalti musik yang berkembang di Indonesia. Di satu sisi, terdapat kelompok yang mengadvokasi sistem lisensi langsung atau direct license, seperti komunitas AKSI.

Sementara di sisi lain, Kadri bersama para pelaku industri lainnya lebih mendorong penguatan serta restrukturisasi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Kolektif Nasional (LKN) agar lebih transparan dan akuntabel dalam mendistribusikan royalti kepada pihak yang berhak.

Praktisi Hukum Sebut Wajib Bayar

“Kami tidak anti terhadap pencipta lagu. Justru kami ingin sistem hukum ditegakkan dengan benar. Yang seharusnya dituntut adalah pengguna karya yang lalai membayar royalti, bukan penyanyi yang hanya menjalankan tugas profesionalnya,” imbuh Kadri.

Putar Lagu di Cafe Harus Bayar Royalti? - Am Badar

Menurutnya, kerancuan yang berkembang di ruang publik sering kali dipicu oleh narasi yang disederhanakan secara berlebihan. Ia menilai bahwa opini publik kerap menyudutkan penyanyi yang tampil tanpa izin sebagai pelanggar hukum, padahal yang patut dimintai pertanggungjawaban adalah pengguna karya dalam konteks hukum, yakni penyelenggara acara atau media penyiaran.

Kadri juga menekankan bahwa dalam praktik internasional, sistem pengelolaan royalti yang dikelola melalui lembaga kolektif berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan kebingungan sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu, ia mengusulkan agar sistem manajemen kolektif di Indonesia direformasi secara menyeluruh, baik dari sisi struktur kelembagaan maupun mekanisme pelaporan dan distribusinya.

“Yang dibutuhkan sekarang adalah pembenahan menyeluruh terhadap LMK dan LKN agar lebih transparan, akuntabel, dan dapat dipercaya oleh para pencipta, performer, dan pengguna. Di negara lain, semua pihak memahami siapa yang wajib membayar royalti dan siapa yang berhak menerima. Tidak ada ruang untuk saling menyalahkan,” ujarnya.

Dalam menutup pernyataannya, Kadri juga mengangkat isu fundamental terkait hak asasi manusia dan konstitusi. Ia menyebut bahwa hak cipta sebagai hak eksklusif memang dilindungi, tetapi tetap memiliki batas yang diatur oleh kepentingan publik dan hak pihak lain. Dalam hal ini, hak pencipta, performer, dan pengguna harus diatur secara proporsional untuk menciptakan keadilan.

“Sebagaimana halnya hak dalam konstitusi, hak cipta adalah hak eksklusif yang tidak absolut. Hak itu dibatasi oleh keberadaan hak pihak lain—baik itu pencipta, pelaksana pertunjukan, maupun pengguna karya. Semuanya harus ditempatkan dalam kerangka hukum yang adil dan seimbang,” pungkasnya.

Baca Juga : Selamat Jalan Titiek Puspa, Bunga Abadi Di Dunia Musik Indonesia

Pernyataan Kadri ini mendapatkan respons yang beragam dari para peserta diskusi, termasuk perwakilan dari komunitas musik, pengacara, perwakilan pemerintah, dan media. Namun secara umum, pandangannya dianggap sebagai upaya untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum hak cipta dengan pendekatan yang objektif dan berdasarkan norma hukum yang berlaku.

Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya perlindungan hak cipta, diharapkan ke depan Indonesia dapat memiliki sistem pengelolaan royalti yang lebih tertata, transparan, dan adil bagi semua pihak yang terlibat dalam industri musik nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.