Noah Kritik Sistem Royalti Musik Indonesia, Pasal UU Bermasalah Isu seputar perlindungan hak kekayaan intelektual di industri musik Indonesia kembali mencuat ke permukaan setelah vokalis utama grup musik NOAH, Nazril Irham atau yang lebih dikenal dengan Ariel NOAH, menyampaikan pandangannya secara terbuka mengenai ketidakjelasan serta pertentangan dalam pengaturan sistem royalti berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.
Dalam pernyataannya kepada media, Ariel menyoroti dengan tegas ketidaksesuaian antara sejumlah pasal yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (5). Menurutnya, kedua pasal tersebut mengandung substansi yang saling bertentangan dan tidak memberikan kejelasan mengenai hak serta kewajiban para pelaku seni, khususnya musisi, dalam hal pembagian royalti atas karya cipta mereka.
Ariel menyampaikan bahwa ketidakjelasan dalam implementasi regulasi tersebut dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap para musisi, baik dari segi kepastian hukum, keadilan distribusi, hingga potensi konflik antar pelaku industri. Ia menilai bahwa ambiguitas hukum yang terjadi bukan hanya memicu kesalahpahaman, tetapi juga memperlemah posisi hukum para pencipta lagu dan penyanyi dalam menuntut hak mereka secara proporsional.
Noah Kritik Sistem Royalti Musik Indonesia
Sebagai bentuk nyata dari keprihatinannya terhadap permasalahan ini, Ariel bersama dengan 29 musisi Indonesia lainnya turut mengambil langkah hukum dengan mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Hak Cipta tersebut ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Gugatan tersebut dimaksudkan untuk meminta peninjauan terhadap pasal-pasal yang dianggap menimbulkan pertentangan hukum dan ketidakpastian bagi para seniman.
Menurut Ariel, keterlibatannya dalam pengajuan gugatan tersebut dilandasi oleh keinginan kuat untuk memperjuangkan hak-hak musisi Indonesia agar dapat dilindungi secara maksimal dan setara di hadapan hukum. Ia juga berharap, melalui proses judicial review ini, akan tercipta revisi atau klarifikasi yang komprehensif dari pihak legislator maupun eksekutif terkait substansi pasal-pasal yang dimaksud.
Kritik terhadap Sistem “Direct License”
Selain menyoroti aspek regulatif dalam UU Hak Cipta, Ariel juga menyampaikan keraguannya terhadap wacana penerapan sistem perizinan baru yang dikenal dengan istilah “direct license”. Sistem ini pada dasarnya memungkinkan para pencipta lagu untuk memberikan izin penggunaan karya secara langsung kepada pengguna, tanpa melalui lembaga perantara seperti Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Meskipun sistem direct license diklaim lebih efisien dan fleksibel, Ariel menyatakan kekhawatirannya terhadap potensi ketimpangan distribusi royalti, minimnya transparansi, serta kerumitan dari sisi perpajakan yang dapat ditimbulkan dari skema ini. Ia menilai bahwa sistem tersebut belum memiliki mekanisme pengawasan dan pelaporan yang terstruktur dengan baik, sehingga membuka celah penyalahgunaan atau pengabaian hak-hak pencipta.
Dalam pandangannya, sistem direct license mungkin cocok diterapkan di negara dengan infrastruktur hukum dan tata kelola yang mapan. Namun, dalam konteks Indonesia yang masih menghadapi tantangan dalam hal kepatuhan administrasi, data kolektif, dan edukasi hukum di kalangan pelaku industri kreatif, sistem tersebut dapat berpotensi menciptakan ketidakadilan baru.
Sorotan dari Kalangan Musisi Lain
Pernyataan Ariel terkait persoalan royalti dan ketidakjelasan peraturan turut mendapat perhatian dari sejumlah tokoh musik tanah air. Ahmad Dhani, misalnya, menanggapi secara terbuka isu izin penggunaan lagu yang juga berkaitan erat dengan sistem royalti. Sementara itu, Judika turut menyuarakan pendapatnya mengenai keabsahan pembayaran royalti atas karya grup musik Dewa 19, yang dinilai sering kali tidak transparan.
Isu ini pun turut menyeret sejumlah nama besar lainnya, termasuk Agnez Mo dan Ari Bias, yang saat ini tengah berkonflik terkait hak cipta lagu “Bilang Saja”. Kasus tersebut bahkan telah memasuki ranah hukum, dengan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memerintahkan Agnez Mo untuk membayar kompensasi sebesar Rp1,5 miliar kepada Ari Bias.
Harapan untuk Masa Depan Industri Musik
Ariel, sebagai figur sentral dalam industri musik Indonesia, berharap agar para pembuat kebijakan dapat lebih memahami kebutuhan para pelaku seni, terutama dalam aspek perlindungan hak cipta. Ia menekankan bahwa musisi tidak hanya memerlukan ruang berekspresi, tetapi juga kepastian hukum atas karya yang mereka hasilkan.
Sebagai seseorang yang telah berkecimpung dalam industri sejak era Peterpan hingga menjadi ikon bersama band NOAH, Ariel memiliki pandangan yang matang mengenai dinamika musik nasional. Ia mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi penyanyi, namun perjalanan karier yang panjang membuatnya memahami secara mendalam pentingnya keadilan dalam sistem royalti.
Dengan adanya keterlibatan langsung para musisi dalam proses peninjauan regulasi, diharapkan reformasi dalam sistem perlindungan hak cipta dan distribusi royalti di Indonesia dapat berjalan lebih baik dan berpihak kepada keadilan.
Baca Juga : Ayu Ting” Gelar Konser Sendiri Tunggal Perdana Di Kota Kelahiran